Akhir-akhir ini bencana alam melanda hampir di seluruh pelosok Indonesia. Tak terkecuali ibu kota negeri ini, Jakarta. Beberapa tahun yang lalu, gempa berkekuatan 6,2 skala Richter melanda daerah Pangandaran, Jawa Barat telah merengut banyak korban jiwa. Padahal, sebelumnya, gempa telah melanda Aceh, Nias, Lampung, dan Padang.
Fenomena alam yang terjadi terus-menerus itu merupakan salah satu tanda telah terjadi ketidakseimbangan ekosistem. Melihat berbagai kerusakan dan bencana alam itu, seringkali kita mengajukan pertanyaan pada diri kita sendiri, apakah yang terjadi dengan alam kita ? Mengapa alam tidak lagi bersahabat dan tidak ramah terhadap bangsa Indonesia? Apa yang diinginkan dari Illahi atas bencana yang terjadi terus-menerus di negeri ini?
Pertanyaan itu mencerminkan bahwa pemahaman serta paradigma berpikir kita tidak berdasar dan komprehensif dalam menyikap persoalan-persoalan yang terjadi. Karena persoalan yang sebenarnya bukan pada alam kita, tetapi bagaimana kita memperlakukan alam semesta kita ini dan kaitannya dengan fenomena bencana yang terjadi?
Dengan kata lain, pertanyaannya adalah apa yang telah kita lakukan pada alam kita? Apakah kita telah bersikap ramah terhadap alam ini? Sebab, keramahan kita dalam memperlakukan alam lebih lanjut akan berdampak pada keramahan alam itu sendiri kepada kita.
Keduanya menciptakan hubungan timbal balik. Karenanya, ketika terjadi berbagai bencana alam, maka pertanyaannya adalah apakah itu wujud dari ketidakramahan alam, atau akibat dari ketidakramahan kita dalam memperlakukan alam?
Oleh karena itu, jawaban atas pertanyaan itu adalah bagaimana manusia (Indonesia) menjalin relasi dengan alam (Indonesia), bukan bagaimana alam menjalin relasi dengan kita sebagai manusia.
Jika kita ingin memahami dan mengatasi berbagai persoalan yang menyangkut kerusakan alam, Indonesia khususnya, maka secara mendasar kita harus berangkat dari paradigma yang benar. Kesalahan paradigmatik akan menghasilkan diagnosa yang salah tentang akar permasalahan. Itu artinya, bahwa kita juga akan salah dalam menerapkan solusinya. Oleh karena itu, keberhasilan dalam menyelesaikan persoalan ini adalah berangkat dari paradigma yang tepat.
Lalu, bagaimana pola relasi yang selama ini terjalin antara manusia Indonesia dengan alam Indonesia. Bagimana pola relasi yang harus dikonstruksikan di masa depan?
Secara paradigmatik, pola relasi yang terjalin antara manusia Indonesia dengan alam Indonesia selama ini adalah pola relasi subjek-objek. Dalam hal ini, manusia bertindak sebagai subjeknya dan alam sebagai objeknya. Ini pola relasi yang bersifat dominatif-eksploitatif.
Pola relasi subjek-objek ini tidak memberikan ruang penghargaan kepada alam sebagai tempat di mana manusia bisa mendapatkan kebutuhannya. Dalam hal ini, alam diposisikan sebagai benda mati yang tidak membutuhkan penghargaan. Ini merupakan pola pikir yang tidak proporsional dalam memposisikan alam.
Kesalahan mendasar paradigmatik ini adalah memandang alam dan manusia sebagai dua hal yang berbeda dan terpisah. Akibatnya, kerusakan yang terjadi di alam semesta tidak dianggap sebagai ancaman terhadap eksistensi manusia itu sendiri.
Ini merupakan sebuah kesalahan cara pandang yang sangat fundamental. Karena secara faktual, kerusakan yang terjadi pada alam semesta, sebenarnya merupakan ancaman terhadap masa depan kehidupan manusia Indonesia. Kerusakan alam Indonesia, secara langsung berdampak kepada manusia Indonesia secara umum. Misalnya, banjir, tanah longsor, tsunami dan bentuk bencana alam lainnya --yang telah merenggut ratusan bahkan ribuan jiwa dan uang miliaran rupiah -- membuktikan bagaimana kerusakan alam semesta berdampak dan mengancam kehidupan manusia Indonesia.
Bertolak dari fakta ini, maka kita dapat menyimpulkan bahwa manusia dan alam pada dasarnya merupakan satu kesatuan. Keduanya bukan merupakan dua entitas yang terpisah. Manusia dan alam semesta merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Itulah pradigma yang harus kita tanamkan dalam kesadaran kita sebagai manusia Indonesia dalam menjalin relasi dengan alam. Kita harus tanamkan kesadaran bahwa kerusakan alam semesta merupakan ancaman terhadap eksistensi manusia itu sendiri. Masa depan eksistensi alam semesta, secara fundamental merupakan masa depan keberlangsungan hidup manusia itu sendiri.
Kesadaran itulah yang harus kita pegang dan tanamkan dalam kesadaran paradigmatik kita. Bertumpu pada logika itu, maka kita harus merubah pola relasi kita dengan alam, dari hubungan subjek-objek menuju pola relasi subjek-subjek. Dalam hal ini kita tidak menempatkan alam sebagai objek, tapi juga subjek seperti kita juga.
Dalam pola relasi ini, alam ti-dak diposisikan sebagai benda mati, tapi juga sebagai entitas yang juga hidup seperti kita. Ini merupakan pola relasi yang egaliter dan sederajat antara manusia dan alam, tidak dominatif-eksploitatif.
Dengan paradigma seperti ini, maka kita akan menghargai alam semesta sama dan setara dengan penghargaan kita terhadap diri sendiri. Dalam pola relasi subjek-subjek tersebut, manusia akan menghargai dan menjaga alam semesta sama sebagaimana ia menghargai dan menjaga dirinya sendiri. Sehingga kondisi itu akan mempengaruhi kita dalam menggunakan menggunakan teknologi, sebagai sarana eksploitasi sumber daya alam yang ada.
Dengan pola relasi subjek-sujek maka manusia (Indonesia) akan menggunakan teknologi sebagai sarana (alat) untuk menghargai alam (Indonesia), bukan sebagai sarana untuk mengeruk kekayaan alam yang cenderung bersifat dominatif-eksploitatif seperti yang terjadi selama ini. Teknologi yang kita gunakan nantinya adalah teknologi yang bersifat ramah lingkungan sebagai perwujudan dari usaha untuk menghargai alam itu sendiri.
Paradigma inilah yang harus dipegang oleh manusia (Indonesia) saat ini, dalam menyikapi alam (Indonesia). Kita harus beralih pada pola relasi yang menempatkan alam sebagai subjek, bukan semata objek. Dengan perubahan paradigma ini maka kerusakan alam semesta dapat dicegah dan diantisipasi.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan