Oleh: Sujatmiko P Fani membolak-balik kartu di depannya. Mencoba mencari makna di dalam kartu itu. Sementara Mitha menunggu gelisah. Jari-jemarinya terus bergerak dan saling membelit. "Gimana, Fan, hubunganku sama Ivan bakal langgeng, nggak?" kata Mitha mulai tidak sabar. "Em, kayaknya kamu harus hati-hati deh. Ini kartu dua pedang yang menandakan si Ivan-mu tuh sudah mulai mendua," cuap Fani setengah sinis. Sejak dulu, Fani memang tidak menyetujui hubungan Mitha dan Ivan, playboy kampus itu. Fani yang peramal sudah tahu kalau Mitha bakal dicampakkan. "Buat tahu yang beginian sih nggak perlu jadi peramal kayak aku juga bisa," cetusnya waktu itu. Orang yang tidak kenal Fani sering menyangka namanya Stefani. Tapi, nama sebenarnya adalah Epifania yang berarti "Penampakan Tuhan". Sejak kecil, Fani menyadari kemampuan indra keenamnya sebagai peramal. Dia sering mengetahui yang terjadi pada dirinya atau orang lain. Kadang dia bermimpi, kadang juga dia mengalami semacam "penglihatan" tentang masa depan. Tapi, belakangan Fani mulai memakai kartu tarot agar mudah meramal orang yang bertanya kepadanya. "Hah! Masak iya Ivan mulai mendua?" tanya Mitha. "Aduh, Mit! Masa kamu masih nggak percaya kemampuanku sih?" Ganti Fani yang jengkel. "Iya deh, aku percaya. Lagi pula aku tahu, ramalanmu 90 persen tepat," jawab Mitha. Setelah berpisah dengan Mitha, Fani segera menuju tempat parkir motor, lalu pulang. Setelah menempuh perjalanan 30 menit di bawah terik matahari Surabaya, akhirnya Fani tiba di rumah. Masuk kamar, meletakkan tas, dan berganti pakaian. Dalam keadaan kamarnya yang gelap itu, matanya menjadi buta sesaat karena berjam-jam berada dalam cahaya terang. Saat itulah Fani mendapat penglihatan tentang masa depan. Tampak olehnya sebuah truk melaju ke arahnya. Bersamaan dengan itu, terdengar suara dari dalam kepalanya, "Aku tidak mau mati. Oh, Tuhan, aku tidak boleh mati." Disusul lolongan keras "Tidaaaaakkk…!!!" yang menyadarkannya kembali. Ternyata, lolongan itu adalah suaranya sendiri yang dia keluarkan saat tidak sadar. Beruntung keadaan rumah sepi. Ayah dan ibunya bekerja, sedangkan dia anak tunggal. Tidak ada yang tahu apa yang baru ia alami. Tubuhnya lemas, kakinya berubah menjadi karet lumer karena panas. Segera dia berpegangan pada gagang pintu agar tidak terjatuh. Masuk ke dalam kamar dengan langkah terseok-seok. "Apa aku akan mati? Apa aku akan terlindas truk? Oh, Tuhan, apa-apaan ini?" tanyanya dalam hati. Segera dikeluarkannya kartu tarot yang tadi dia letakkan dalam tas dan menanyakan yang terjadi padanya. Betapa terkejutnya dia saat melihat hasil ramalan itu. Empat kartu pertama yang muncul adalah sembilan pedang, sepuluh pedang, The Death (sang maut), dan sepuluh tongkat yang semuanya memiliki satu arti: kematian. Kartu kelima adalah empat pedang yang berarti kecelakaan. Keenam adalah The Chariot (kereta perang) yang berarti kendaraan. Air mata yang menetes memburamkan pandangannya. Sehingga dia tidak dapat lagi melihat kartu ketujuh dan kedelapan. Terlintas dalam benak Fani wajah kedua orang tuanya. "Apa jadinya mereka kalau aku tidak ada? Siapa yang akan merawat mereka saat menjadi tua?" tanyanya dalam hati. Tiba-tiba suatu tekad muncul di benaknya, dia harus mengubah masa depan! Selama ini Fani selalu membiarkan masa depan berjalan sesuai dengan ramalan. Tapi, kali ini berbeda. Dia harus membelokkan garis nasib sendiri! Dia harus menyelamatkan jiwanya. Tindakan pertama yang ada dalam kepalanya adalah dia tidak ke luar rumah. Sepanjang hari itu Fani hanya di kamarnya. Seumur hidup, Fani tidak menyangka bakatnya akan seperti ini. Bahkan, saat orang tuanya datang, Fani tidak keluar kamar sekali pun. Ibunya mengetuk pintu kamarnya, heran melihat tingkah Fani hari ini. "Fan, kamu kenapa? Sakit?" tanya ibunya dari luar kamar. "Nggak, Bu," jawab Fani tanpa membuka pintu kamarnya yang terkunci. Beberapa jam kemudian Mitha menelepon, tapi Fani tidak menggubris ponselnya yang berbunyi berulang-ulang. Saat ini dia ingin sendirian, tanpa kehadiran orang lain. Fani tidak tahu sudah berapa lama dia seperti ini. Tidak sekali pun dia keluar. Ponselnya sudah lama mati akibat kehabisan baterai. Melihat keadaan ini, orang tua Fani mulai cemas. Maka ayahnya mendobrak pintu kamarnya pada suatu sore dan mendapati keadaan Fani yang menyedihkan. Rambutnya kusut karena keringat dan badannya bau karena lama tidak mandi. Ibunya cepat menghampiri Fani. Dia duduk di samping ranjang Fani dan menyentuh tangannya. Fani yang selama ini hanya berbaring di ranjang mulai bangun dan menangis. Dia memeluk sang ibu tanpa bicara sedikit pun. Kesedihan dan ketakutannya tumpah lewat air matanya, tapi dalam hatinya tetap merasa tertekan. "Kenapa kamu, Fan? Ada masalah apa? Cerita dong ke ibu," kata ibu sambil memberi tanda pada ayah Fani yang bingung agar keluar. "Ayo, cerita ke ibu. Ada masalah apa sebenarnya?" bujuk ibunya. Fani mulai bercerita tentang ramalan kematian itu. Setelah mendengar cerita itu, ibunya gelisah. Namun, tidak ditampakkan agar tidak membuat Fani panik. "Ya sudah, ramalanmu kan belum tentu tepat. Mungkin itu halusinasi karena kamu kecapekan setelah kuliah. Cepet mandi, kamu sudah tidak mandi lima hari. Baumu nggak enak," kata ibu dengan sabar. Sekarang dia menyesal tidak langsung memberitahukan kepada ibu saat itu. "Ibu selalu bisa menenangkan hatiku," batinnya. Fani pun beranjak mandi, kemudian menelepon Mitha lewat ponsel ibunya. "Kamu ke mana aja sih? Berhari-hari nggak masuk kuliah dan nggak ada kabar. Aku kan jadi khawatir kamu sakit parah," salak Mitha dari ujung telepon. Malam ini Fani berencana tidur bersama ayah dan ibunya. Dia bertekad tidur nyenyak tanpa takut. Semalam dia tidur sangat nyenyak. Dia segera mandi, kemudian menuju meja makan, mengambil makanan. Sudah menjadi kebiasaan, bila makan sendirian, dia akan makan sambil menonton TV. Saat menyalakan TV, yang pertama dia lihat adalah program berita tengah hari. Program ini menyiarkan tabrakan maut antara sebuah mobil dan truk pengangkut sapi di jalur utara. Betapa terkejutnya Fani saat dalam berita itu disebutkan, salah seorang korban tewas bernama Mitha. Di antara rasa terkejut dan cemas, Fani berlari ke kamar mengambil ponsel. Dia melewati meja belajarnya dan melihat kartu-kartu tarotnya yang berserakan. Hatinya langsung hancur saat melihat dua kartu terakhir dari delapan kartu yang tidak sempat dia lihat waktu itu adalah The Lovers (sang kekasih) dan The Empress (teman perempuan). |
Selasa, November 06, 2007
Ramalan yang Terlewatkan
Langgan:
Catat Ulasan (Atom)
Tiada ulasan:
Catat Ulasan